DFACTONEWS.COM,Minahasa — Isu rencana pemindahan makam tokoh nasional Kiyai Modjo ke Pulau Jawa menuai penolakan keras dari masyarakat Kampung Jawa Tondano (Jaton), Kabupaten Minahasa.
Gelombang penolakan ini tidak hanya datang dari warga lokal, tetapi juga dari organisasi nasional yang mewadahi keturunan dan komunitas Jaton di seluruh Indonesia.

Ketua Koordinator Nasional Kerukunan Keluarga Jaton Indonesia (KORNAS KKJI), Hi. Ali Hardi Kiai Demak, SH., M.Si., dalam pernyataan resminya dari Jakarta menegaskan bahwa keberadaan makam Kiyai Modjo di Tondano adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah perjuangan bangsa.
“Kiyai Modjo adalah pejuang Perang Diponegoro yang ditangkap Belanda pada tahun 1828, lalu diasingkan ke Tondano tahun 1830 setelah melalui Batavia dan Ambon. Di sinilah beliau mendirikan Kampung Jawa Tondano,” tegas Ali Hardi.
Ia menguraikan bahwa rombongan Kiyai Modjo yang tiba di Tondano terdiri dari 63 orang — anak dan para pengikutnya yang juga pejuang. Mereka menikah dengan perempuan-perempuan lokal Minahasa, lalu melahirkan generasi demi generasi yang kini dikenal sebagai komunitas Jawa-Tondano (Jaton). Komunitas ini adalah hasil dari proses asimilasi dan akulturasi yang melahirkan subetnik Jawa-Minahasa yang hidup harmonis selama hampir dua abad.
Kini, komunitas Jaton telah berkembang dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Mereka berhimpun dalam organisasi Kerukunan Keluarga Jaton Indonesia (KKJI) yang telah memiliki legalitas resmi melalui SK Menkumham No. AHU.0077029.AH.01.07 Tahun 2016.
Menurut Ali Hardi, pemindahan makam Kiyai Modjo bukan hanya tidak tepat, tapi juga mengingkari jejak sejarah dan warisan budaya yang telah terbentuk di tanah Minahasa. Masyarakat Jaton mendesak pemerintah untuk menghormati situs sejarah tersebut sebagai bagian dari identitas perjuangan dan peradaban bangsa.(ara)